Penulis : Sharma Hadeyang
Penerbit : Pustaka Taman Ilmu
Editor : Abi Queensha
Layout dan desain cover : Nas Media Printing
Pemeriksar Aksara : Muhammad Asri
Penyelaras Akhir : Irmawati
Isi : 96 Halaman
ISBN : Sementara Proses
Harga : 140.000
Opu Daeng Risadju merupakan keturunan dari Raja – Raja di Sulawesi Selatan dengan strata sosial masyarakat bagian atas. Sebagai keturunan dari Syehk Yusuf Tuanta Salamaka Ri Gowa yang dikenal sebagai musuh bebutan Belanda, maka tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam diri Opu Daeng Risadju telah mengalir darah patriotik dan keIslaman yang tinggi untuk menghapus segala angkara murka atas kekuasaan Belanda di Indonesia, terutama di Tana Luwu Provinsi Sulawesi Selatan.“TebbakkE TongengngE, Toddopuli Temmalara” demikian semboyan perjuangan yang telah melekat dalam jiwa sanubari Opu Daeng Risadju bersama para Pejuang lainnya dari Tana Luwu yang menjadikan dirinya tak pernah mengenal kata “menyerah “ sedikitpun hingga Sang Saka Merah Putih berkibar untuk Kemerdekaan Republik Indonesia. Pantang Mundur dalam berjuang menjadikan dirinya digelar sebagai Macan Betina Dari Timur oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Hal tersebut melambangkan betapa heroiknya seorang perempuan tangguh dengan keranian tinggi serta rela berkorban demi membela tanah air dan rakyat Indonesia. Srikandi dari Tana Luwu Sulawesi Selatan ini terbukti dengan beberapa kali keluar masuk penjara, namun dalam dirinya tak sedikitpun
rasa gentar apa lagi menyerah sebelum Sang Saka Merah Putih berkibar di Tana Luwu hingga sejagat Nusantara.Opu Daeng Risadju dalam perjuangannya senantiasa berpegang teguh pada ajaran Agama Islam, terutama saat beliau diangkat menjadi Ketua Parta Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Kota Palopo. Kepemimpinannya menjadi unik dan menarik karena seluruh daerah di Sulawesi Selatan PSII dipimpin oleh kaum laki–laki. Hanya PSII Kota Palopo dipimpin oleh seorang Perempuan. Kepemimpinan Opu Daeng Risadju di tubuh PSII merupakan tempat terhormat karena kedudukan tersebut penuh dengan risiko tinggi tetapi Beliau hanya menganggapnya sebagai tantangan sekaligus pemacu dirinya untuk terus berjuang dan berkarier di dunia poltik.Tuduhan menghasut rakyat untuk menaruh kebencian terhadap Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan Opu Daeng Risadju sebagai perempuan pertama tawanan politik yang keluar masuk penjara, namun penjara bukanlah alasan Opu Daeng Risadju untuk mundur dari karier poltiknya, justru semakin menambah semangat dengan memanfaatkan waktu di dalam penjara untuk mengatur strategi perjuangan sekaligus tempat belajar menulis dan membaca huruf latin secara otodidak.Penderitaan dan siksaan silih erganti telah dirasakan oleh Opu Daeng Risadju, mulai dari tertangkap di Sulawesi Tenggara dengan tangan terantai di bawa menuju Kota Palopo, gelar kebangsawanannya ditanggalkan, kerja rodi hingga rela bercerai dengan suaminya demi mewujudkan Indonesia Merdeka.Pada akhirnya setelah keluar dari penjara, Opu Daeng Risadju dibawa ke Bajo, di sanalah Beliau disiksa oleh NICA dengan memaksa berlari mengelilingi lapangan sepak bola Bajo sambil menatap matahari hingga iringan letupan senapan di amping telinga membuatnya tuli seumur hidup. Sebelum menghembuskan nafas terakhir di Kota Palopo, Opu Daeng Risadju sempat meneteskan air mata haru dan bahagianya di saat menyaksikan Sang Saka Merah Putih telah berkibar di Istana Kedatuan Luwu yang
menandakan bahwa Indonesia telah MERDEKA. Kemerdekaan itu tak lepas dari hasil perjuangannya bersama para Tokoh Pejuang Perintis Kemeerdekaan lainnya di Sulawesi Selatan bahkan Indonesia Timur.
Tinggalkan Balasan